Tambang Ilegal Moreah, Jejak Bisnis Kotor, Perlindungan Oknum, dan Hukum yang Lumpuh di Minahasa Tenggara

Avatar photo

Mitra-channelnusantara.com-Di balik indahnya Puncak Alason, tersimpan luka terbuka tambang emas ilegal yang terus menggerogoti lingkungan dan nurani penegakan hukum. Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Moreah, Kecamatan Ratatotok, kini menjadi simbol nyata betapa bisnis kotor bisa berjalan mulus di atas pembiaran sistematis.

Dua nama mencuat dari lapangan Inal Supit dan Maya Supit, kakak beradik yang disebut-sebut sebagai pengendali operasi tambang ilegal berskala besar di kawasan tersebut. Warga menyebut keduanya beroperasi terang-terangan, dengan armada alat berat dan aktivitas pengolahan yang terus berjalan siang malam seolah hukum hanyalah formalitas di atas kertas.

Ruas jalan Soyowan–Moreah, yang semestinya menjadi jalur ekonomi masyarakat, kini berubah fungsi menjadi jalur tambang. Lumpur dan material sisa tambang mengalir deras hingga menutup aspal setebal hampir 10 sentimeter. Kondisi ini bukan sekadar mengganggu, tapi mengancam nyawa.

Seorang ibu rumah tangga baru-baru ini terjatuh di jalan licin tersebut dan harus dilarikan ke RS Ratatotok. Namun, insiden itu tak cukup menggugah tindakan pemerintah.

“Setelah kejadian itu, tidak ada apa-apa. Pemerintah diam saja, seolah tidak ada yang salah,” ujar seorang warga Moreah dengan nada getir, Jum’at (17/10/2025)

Sumber-sumber di lapangan menyebut, aktivitas PETI di Moreah tidak mungkin bisa berjalan tanpa restu dari pihak berkuasa. Ada dugaan kuat bahwa operasi ini dilindungi oleh oknum tertentu, baik di level lokal maupun penegak hukum, yang menutup mata terhadap pelanggaran yang sudah berlangsung lama.

“Kalau masyarakat biasa yang menambang, sudah pasti ditangkap. Tapi kalau mereka (Supit bersaudara), tidak ada yang berani menyentuh,” ungkap seorang tokoh masyarakat yang meminta identitasnya disembunyikan.

Dari pantauan tim investigasi, aktivitas tambang ini tidak hanya melanggar hukum lingkungan, tetapi juga merusak fasilitas publik milik negara. Jalur nasional yang menjadi akses warga kini hancur akibat lintasan truk pengangkut material tambang.

Lebih ironis lagi, tak satu pun papan izin, tanda perusahaan resmi, atau pengawasan Dinas ESDM terlihat di lapangan.

“Ini bukan sekadar tambang ilegal. Ini perampokan sumber daya alam di depan mata publik,” tegas seorang pemerhati lingkungan asal Ratatotok.

Warga menegaskan, meski berstatus ilegal, aktivitas PETI yang memanfaatkan kekayaan negara tetap harus bertanggung jawab secara fiskal.

“Harusnya ada pajak, denda, royalti, dan ganti rugi jalan. Tapi kalau tidak ada tindakan, berarti pemerintah ikut bermain,” kata warga lainnya dengan nada sinis.

Ketiadaan langkah konkret dari aparat maupun pemerintah daerah kian memperkuat dugaan bahwa ada kekuatan tersembunyi yang melindungi operasi ini.

Kasus PETI di Moreah kini menjadi tolok ukur integritas hukum di Minahasa Tenggara.

Apakah hukum masih berfungsi, atau telah tunduk di bawah tekanan uang dan relasi kekuasaan?

Publik menunggu, apakah aparat penegak hukum berani menyentuh nama-nama besar di balik tambang ini atau justru memilih diam dan menjadi bagian dari lingkaran pembiaran.

Karena jika kejahatan dibiarkan, maka bukan hanya tambang yang runtuh, tapi juga kepercayaan rakyat terhadap keadilan.

(Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *