Putusan MK atas Imunitas Jaksa: Babak Baru Sinergi Polri–KPK dalam Penindakan Hukum

Avatar photo

Manado -Channelnusantara.com- Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan komitmen kuatnya terhadap reformasi institusi penegak hukum, terutama Kepolisian Republik Indonesia (Polri), melalui pembentukan “Komisi Percepatan Reformasi Polri” beranggotakan 10 orang. Langkah ini datang dalam momen krusial: desakan publik dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB), isu transparansi, hingga tantangan struktural di tubuh Polri.

Namun, berangkat dari niat baik ini, muncul pertanyaan penting: apakah ini benar-benar reformasi “bersih” — atau sekadar simbolik? Dan bagaimana konstelasi perubahan hukum lain, terutama terkait wewenang penindakan terhadap aparat penegak hukum (seperti jaksa), ikut berkelindan dalam narasi transformasi?

Tim “10 Orang”

Daftar 10 anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dilantik oleh Presiden Prabowo:

1. Jimly Asshiddiqie – Ketua, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi.

2. Yusril Ihza Mahendra – Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.

3. Otto Hasibuan – Wakil Menko Kumham.

4. Tito Karnavian – Jenderal (Purn), mantan Kapolri dan sekarang Menteri Dalam Negeri.

5. Supratman Andi Agtas – Menteri Hukum.

6. Mahfud MD – Mantan Ketua MK dan tokoh hukum senior.

7. Jenderal Listyo Sigit Prabowo – Kapolri saat ini.

8. Jenderal (Purn) Idham Azis – Mantan Kapolri.

9. Jenderal (Purn) Badrodin Haiti – Mantan Kapolri.

10. Ahmad Dofiri – Penasihat khusus Presiden untuk keamanan, ketertiban masyarakat, dan reformasi Polri.

Komisi ini dibentuk melalui Keppres No. 122P/2025.

Penting

GNB, sebagai salah satu kekuatan sipil yang aktif, sebelum pembentukan komisi sudah menekan Presiden Prabowo agar mengevaluasi Polri secara menyeluruh. (NU Online) Dalam dialog di Istana (September 2025), GNB menyampaikan kebutuhan komisi reformasi sebagai kebutuhan moral dan konstitusional. Presiden merespons dengan cepat: tidak hanya komisi, tetapi juga jaminan laporan awal dalam tiga bulan.

Dimana, komisi ini terdiri dari figur-figur senior hukum dan mantan kapolri. Dari satu sisi, ini menunjukkan komitmen akan pengalaman dan legitimasi. Dari sisi lain, kehadiran mantan Kapolri (Tito Karnavian, Idham Azis, Badrodin Haiti) bersama Kapolri aktif (Listyo Sigit) bisa menimbulkan pertanyaan apakah reformasi akan menyentuh akar institusi atau hanya permukaan politis.

Beberapa pengamat menyatakan kekhawatiran bahwa reformasi bisa menjadi “manuver elitis”, (magz.tempo.com) bukan transformasi struktural. Jimly Asshiddiqie, sebagai ketua komisi, menegaskan bahwa komisi tidak akan bekerja “di balik pintu tertutup” dan akan terbuka terhadap aspirasi masyarakat, bukan sekadar rekomendasi simbolis.

Penegak Hukum (Polri dan Jaksa)

Di tengah reformasi Polri, ada isu hukum signifikan lainnya: Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah pasal dalam UU Kejaksaan, yang membuka jalan agar jaksa dapat diproses tanpa izin Jaksa Agung dalam kasus tertentu.

Lebih detail, MK menyatakan bahwa Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan — yang mengharuskan jaksa mendapat izin Jaksa Agung sebelum dipanggil atau ditahan — tidak boleh diterapkan secara absolut. Untuk kasus OTT atau bukti permulaan tindak pidana berat, Polri dan KPK dapat melakukan upaya penegakan hukum tanpa izin tersebut, (Monitor Indonesia).

Ini adalah sinyal penting: reformasi tidak hanya di Polri, tapi juga menyentuh mekanisme penegakan hukum antar lembaga. Kebersihan penegak hukum (clean-up) tidak bisa hanya pada satu institusi; harus sistemik.

Tantangan & Risiko

1. Risiko Konflik Kepentingan Internal.
Karena beberapa anggota komisi berasal dari mantan atau petinggi Polri, ada kekhawatiran bahwa rekomendasi reformasi bisa terbatas pada “kosmetik” tanpa menyentuh akar masalah seperti budaya koruptif, nepotisme, atau kekuasaan politik-polisi.

2. Kecepatan Versus Kedalaman
Perintah Presiden agar laporan awal diserahkan dalam 3 bulan (meskipun bisa diperpanjang) menunjukkan urgensi. (ANTARA News). Namun, proses mendengarkan aspirasi publik, survei internal, audit independen bisa butuh waktu lebih lama. Jika terburu-buru, reformasi bisa jadi setengah matang.

3. Persepsi Publik
Publik skeptis apakah ini hanya “panggung politik” atau transformasi nyata. Jika rekomendasi komisi tidak dilanjutkan dengan aksi konkret (revisi UU, restrukturisasi internal, sanksi tegas), maka kepercayaan publik bisa menurun.

Aspirasi GNB: Gerakan Nurani Bangsa telah mendorong reformasi Polri sejak dialog mereka dengan Presiden, menyoroti isu intervensi politik dan bisnis di tubuh Polri.(NU Online)

Tim Transformasi Polri Internal: Selain komisi eksternal, Kapolri Listyo Sigit juga membentuk tim transformasi internal beranggotakan 52 personel. [VOI]

Sedangkan Putusan MK: MK mengubah mekanisme imunitas jaksa, memberi keleluasaan bagi Polri dan KPK untuk bekerja tanpa izin Jaksa Agung dalam kasus tertentu. [Monitor Indonesia]

Makna

Reformasi ini menunjukkan kekuatan (power) dan keberanian Presiden untuk mengintervensi institusi besar seperti Polri. Membangun komisi dengan tokoh senior, mantan pejabat — itu bukan langkah lemah, tetapi tegas dan gagah.

Struktur komisi bukan hanya militeristik atau birokratis keras — ada unsur hukum, pemerintahan sipil (menteri), dan tokoh masyarakat. Pendekatannya tidak pragmatis semata, tetapi filosofis: dialog publik, pelaporan berkala, transparansi.

Dalam konteks reformasi: tidak brutal, tapi tidak pasif; bukan sekadar simbolis, tapi bisa punya dampak substantif.

Rekomendasi

1. Transparansi Publik Rekomendasi Komisi.
Komisi harus mempublikasikan roadmap kerja, hasil rapat, rekomendasi, dan laporan publik minimal secara triwulan. Ini penting agar masyarakat bisa memantau apakah reformasi benar-benar berjalan.

2. Audit Eksternal dan Independen.
Libatkan lembaga independen (misalnya NGO anti-korupsi, akademisi) untuk melakukan audit internal Polri, mengevaluasi kultur organisasi, anggaran, promosi jabatan, dan insentif moral.

3. Revisi Regulasi dan UU.
Komisi tidak cukup hanya memberi rekomendasi administratif, tetapi harus mendorong reformasi regulasi: misalnya revisi UU Polri, aturan promosi perwira, sistem disiplin, whistleblower internal. Selain itu, keputusan MK tentang Jaksa harus diterjemahkan ke dalam kebijakan penegakan hukum yang konsisten.

4. Pelibatan Publik.
Adakan forum publik, konsultasi dengan masyarakat (termasuk Jurnalis, LSM HAM, mahasiswa, tokoh sipil) sebagai bagian dari mekanisme reformasi. Komisi harus menjadi jembatan antara institusi dan warga.

5. Sanksi Tegas.
Jika ditemukan pelanggaran oleh oknum Polri (korupsi, kekerasan, intervensi politik), komisi harus menyertakan rekomendasi mekanisme sanksi — administrasi, pidana, hingga pemecatan — dan memastikan eksekusi sanksi itu.

Kesimpulan

Presiden Prabowo, dengan membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang beranggotakan 10 tokoh senior dan strategis, menunjukkan niat maco dan elegan: kuat, tegas, namun berbasis dialog dan legitimasi lama. Namun, komitmen ini hanya bermakna jika diikuti dengan tindakan nyata: laporan publik, audit independen, regulasi baru, dan pelibatan masyarakat luas.

Sementara itu, perubahan hukum yang terjadi di ranah penegak hukum lain — khususnya putusan MK tentang izin penindakan jaksa — semakin memperkuat momentum reformasi sistemik. Kebersihan Polri tanpa kebersihan lembaga penegak hukum lain akan terasa setengah jalan.

Jika komisi ini mampu menyinergikan rekomendasi dengan tindakan dan kebijakan jangka panjang, maka visi reformasi “bersih” bukan hanya slogan, tetapi bisa jadi warisan nyata pemerintahan Prabowo — untuk memastikan Polri tidak hanya kuat, tapi juga bermartabat di mata publik.
(Red)

Editor: Fadly

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!